- kum Melempar Jumrah
- ·
Keutamaan Melempar Jumrah
- ·
Tata Cara Melempar Jumrah
- ·
Kesalahan Yang Sering Terjadi Pada
Saat Melempar Jumrah
- ·
Do’a Yang Dipanjatkan Pada Saat
Melempar Jumrah
- ·
Hakekat Melempar Jumrah Dalam Kehidupan Kontekstual
A.
DEFINISI MELEMPAR JUMRAH
Jamrah adalah
tuguh melambang kemusyrikan (politheisme). Atau berhala lambang kekuatan syaitan. Jumrah ada
3 macam yaitu jamrah Ula (yang pertama), Wustha (yang tengah) dan
Aqobah (yang besar). Ketiga jumrah ini merupakan lambang trinitas.
Perlu anda ketahui bahwa. Pasca insiden tragedi
Mina tahun 2004 telah membawa korban ratusan orang jama’ah haji seketika.
Insiden itu terjadi karena saratnya
jamaah yang berdesak-desakan ditempat yang sama dengan kapasitas sangat terbatas disaat melempar
jumrah. Perihal itu, Para ulama Mekah memutuskan untuk merenovasi bentuk ketiga
jumrah itu. Hasil keputusan
keputusan itu, bahasa agamanya dinamakan
Ijma’ para ulama Mekah. Kini, ketiga jumrah yang tadinya
berbentuk tuguh telah berubah menjadi tembok yang kokoh panjang lebih kurang 15
meter dan tinggi lebih kurang 4,5 meter. Hal ini, dimaksudkan agar para jama’ah
haji tidak berdesak-desakan lagi dalam melempar jumrah. Kini jama’ah haji tidak
kesulitan lagi untuk melempar jamrah sperti di tahun 2004 kebelakang.
B. DASAR HUKUM MELEMPAR JUMRAH
Melempar
jumrah dengan batu kerikil merupakan wajib haji, baik itu melempar jumrah
Aqobah atau melempar ketiganya. Dalam melempar jumrah ada dua pilihan yaitu:
·
Nafar awal bila dilakukan
selama 3 hari berturut-turut yaitu tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijah.
·
Nafar tsani bila dilakukan
selama 4 hari berturut-turut yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijah.
Melempar
jumrah adalah wajib haji yang sangat berat karena dalam waktu yang sangat
terbatas dan dalam ruang yang sangat terbatas, jutaan orang berdesak-desakan
untuk berjuang melaksanakan rangkaian ibadah ini, sehingga untuk orang tua dan
orang sakit dapat diwakilkan kepada orang lain, sesuai dengan firman Allah :
فَاتَّقُوااللهَ
مَاسْتَطَعْتُمْ *
Artinya:“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu”. (QS.64:16).
C. KEUTAMAAN MELEMPAR JUMRAH
Melempar jumrah dianalogikan perlawanan kita pada
syaitan. Dengan berhasilnya kita melempar jumrah tepat pada sasaran berarti kita
telah berhasil melawan syaitan.Keutamaan melempar jumrah adalah setiap butir
kerikil yang dilemparkan akan menghapus dosa besar yang dapat merusak iman.
D. TATACARA PELAKSANAAN MELEMPAR
JUMRAH
Batu-batu
kerikil sebanyak 70 butir (untuk nafar tsani) dan 49 butir (untuk nafar
awal) yang kita bawa dari Mudzalifah digunakan untuk melempar jumrah, dengan
tata cara sbb:
·
Tanggal 10 Dzulhijah,
dilaksanakan melempar jumrah Aqobah. Dangan susah payah dan berdesak- desakan,
kita berusaha menerebos masuk sampai ke bibir lingkaran jumrah Aqobah berada,
agar lemparan kita tepat pada sasaran.
·
Ambil sebutir kerikil dan kita
lempar tepat di tengah jumrah sambil mengucap “Bismillah Allahu Akbar” , kemudian ambil lagi batu kerikil
berikutnya dilempar tepat sasaran, dan seterusnya sampai 7 butir.
·
Apabila lemparan meleset, maka
lemparan diulang lagi sampai jumlah lemparan kita yang tepat sasaran sebanyak 7
kali.
·
Kemudian
berdesakan-desakan pula kita mundur.
·
Untuk
melempar 3 jumrah dilakukan dengan cara yang sama, namun diakhiri dengan do’a
mengahadap ka’bah, untuk jumrah Ula dan Wustha, sedangkan seusai melempar
jumrah Aqodah tidak berdo’a.
·
Untuk
hari pertama setelah tiba dari Mudzalifah kita hanya melempar jumrah Aqobah
saja, sedangkan tanggal 11 dan 12 Dzulhijah (dan atau tanggal 13 Dzulhijah)
lemparan jumrah dimulai dengan jumrah Ula, setelah selesai menuju ke
jumrah Wustha dan terakhir di jumrah Aqodah.
E. KESALAHAN YANG SERING TERJADI PADA
SAAT MELEMPAR JUMRAH
1.
Sebagai jemaah haji beranggapan
bahwa melempar jumrah adalah melempar syetan sehingga mereka melempar dengan
penuh kemarahan dan caci maki, padahal melempar jumrah semata-mata disyariatkan
untuk berdzikir kepada Allah.
2.
Sebagian jemaah melempar jumrah
dengan batu besar, sepatu dan kayu, padahal yang disyariatkan adalah kerikil
kecil sebesar kelereng.
3.
Berdesakan-desakan, pukul
memukul di tempat jumrah untuk dapat melempar, padahal disyariatkan dengan
tenang dan hati-hati dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain.
4.
Melemparkan batu-batu tersebut
sekaligus 7 batu, padahal yang disyariatkan adalah melemparkan satu persatu
sambil bertakbir pada setiap lemparan.
5.
Mewakili untuk melempar,
sedangkan ia sendiri mampu untuk melaksanakannya hanya karena menghindari
kesulitan dalam berdesakan.
F.
DO’A YANG DIPANJATKAN PADA SAAT MELEMPAR JUMRAH
Do’a yang dipanjatkan sesuai melempar jumrah, do’a
nya bebas.
G. HAKEKAT MELEMPAR
JUMRAH
Kerikil yang dilemparkan ibarat peluru dan kita harus menembakkan 70 peluru
kepada musuh di pertemuan Mina. Peluru harus di tembakkan ke arah kepala, dada
dan jantung musuh karena hanya peluru yang tepat sasaran yang akan
diperhitungkan. Mina adalah
medan tempur. Mina adalah negeri Allah dan syaitan.
Kita diibaratkan hidup dalam penjara
diri sendiri, untuk itu kita harus melawan memerangi diri sendiri, kita
harus membebaskan diri sendiri dari penjara, memberontak melawan diri sendiri
dan dengan tangan sendiri. Lebih dari itu,
mengorbankan anak sendiri sebagaimana yang dicontohkan nabi Ismail as,
dengan harapan agar kita terangkat ke tingkat kesadaran dan kreativitas yang
sedemikian tinggi sehingga kita dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah dan
tidak menjadi manusia yang hanya menghamba kepada alam.
Dunia ini berada di bawah otoritas “kehendak Allah” dan diatur oleh
diterminasi ilmiah, ketika berdiri di tebing sungai manusia, kita memiliki
kebebasan umtuk mengambil keputusan, tetap dan mati disana dan atau mencebur
dan ikut mengalir dengan mereka. Gelombang manusia ini mendobrak tembok batas
Mina dan menaklukkan negeri Iblis tersebut. Jika kita menceburkan diri dalam
gelombang manusia, maka kita akan mamperoleh kemenangan karena kita telah
bertekat untuk menghampiri Allah, danmenjadi masyarakat abadi yang senantiasa
bergerak, bagaikan sungai menggelora yang akan menerjang setiap karang dan
bendungan dan akhirnya akan mencapai lautan. Mengalahkan syaitan dan nabi
Ibrahim as mengorbankan puteranya Ismail sesuai dengan perintah-Nya :
ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ
النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوااللهَ اِنَّ الله غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ *
Artinya : “Kemudian bertolaklah kamu
dari tempat bertolaknya manusia, dan minta ampunlah kepada Allah, bahwasanya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.2:199).
Ketika bangunan jumrah melambangkan ketiga syaitan yang satu sama lain
dipisahkan dalam jarak 100 meter. Masing-masing merupakan sebuah “monumen” yang
setahun sekali wajah dicat putih. Pada hari pertama jumrah Ula dan Wustha
dilalui saja, kita langsung menembak jumrah Aqobah yang terbesar karena ketika
berhala terakhir jatuh, maka berhala pertama dan kedua tidak berdaya lagi.
Melempar jumrah merupakan tahap terakhir dari evolusi dan idealiasme, tahap
kebebasan mutlak dan kepasrahan mutlak dimana kita berperan sebagai Nabi
Ibrahim as yang membawa puteranya Ismail kita untuk dikorbankan di tempat ini. Siapakah Ismail kita masing-masing ?
kedudukan kita ? harga diri kita ? cinta kita ? keluarga kita ? keelokan kita ?
kelas sosial kita ?. Apapun Ismail kita akan bawa dan kita korbankan di tempat
ini. Ismail kita adalah sesuatu yang melemahkan iman kita, sesuatu yang membuat
kita enggan menerima tanggung jawab, sesuatu yang membuat kita memikirkan
kepentingan kita sendiri, sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengarkan
perintah Allah dan menyatakan kebenaran.
Sesuatu yang membuat kita mengemukakan alasan demi kemudahan kita dan
sesuatu yang membutakan mata dan menulikan telinga kita. Kini kita berperan
sebagai Ibrahim dan kelemahan Ibrahim adalah kecintaannya pada Ismail, oleh
karena itu ia digoda oleh syaitan. Ismail bukan hanya seorang putera bagi
Ibrahim, ia adalah buah yang didambakan seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya sebagai imbalan
karena telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan. Namun tiba-tiba Allah
mewahyukan untuk menyembelih Ismail dengan tangannya sendiri, maka kedudukan
hatinya tidak tertanggungkan dan terbayangkan, ia gemetar, goyah sekan-akan
hendak akan roboh, batinnya sangat goncang menerima wahyu itu. Tetapi wahyu itu
adalah perintah Allah.
Peperangan terbesar adalah memerangi
diri sendiri. Ibrahim sebagai satria yang tampil sebagai pemenang dalam
peperangan terbesar ini menjadi goncang, lemah, takut, termangu-mangu dan putus
asa. Ia mengalami konflik dalam batinnya. Siapa yang lebih disayangi oleh Allah
atau Ismail ?. sebagai seorang Nabi Ibrahim telah mencapai puncak kesempurnaan,
tetapi sesungguhnya belum sempurna dalam kepatuhan. Allah Yang Maha Kuasa
memerintahkan agar mengorbankan hidup kita, kecintaan kita dan meneruskan
perjalanan kita, tetapi godaan syaitan mendesak agar kita berhenti dan mengikuti
segala sesuatu yang seharusnya dikorbankan itu, dengan cara mengubah keyakinan
kita untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita. Jumrah yang pertama
(Ula) adalah melambangkan Ibrahim membangkang terhadap Allah, ia tidak mau
mengorbankan puteranya.
Hari berikutnya, Ibrahim menimbang-nimbang lagi antara kecintaannya pada
Ismail dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah. Kehidupan Ismail sedang
dipertaruhkan. Ia masih dalam ragu-ragu, mana yang dipilihnya. Dalam pada itu,
Allah memberi ilham. Firman Allah:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا *
Artinya:“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya”. (QS.91:8)
Tetapi
kemudian syaitan menggoda lagi, sehingga Ibrahim berkata: “Tetapi perintah ini
kuterima dalam mimpi, mungkinkah perintah ini benar ?”. ini kedua kali Ibrahim
membangkang pada perintah Allah untuk mengorbankan puteranya. Al-Qur’an
menggambarkan Ibrahim yang berdiri di Mina dalam menghadapi Allah dan syaitan.
Walaupun tidak dapat memihak kepada salah satu diantara keduanya, namun ia tidak dapat
mengabaikan mereka. Ternyata Ibrahim sangat lemah dan tidak berdaya, sesuai
dengan firman-Nya:
وَخُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيْفًا *
Artinya : “Manusia
diciptakan bersifat lemah” (QS. 4:28)
Di akhir
hidupnya Ibrahim, bapak dari nabi Islam, tokoh yang paling mulia karena
memiliki semangat kemanusiaan dan dikasihi
Allah, berada di pinggir jurang karena ”kecintaannya yang wajar pada
puteranya Ismail”. Setelah seratus tahun hidup sebagai manusia yang sholeh dan
beriman, Ibrahim hendak diperdayakan oleh syaitan. Apa bila merenungi bahwa
keharusan itu adalah perintah Allah, maka ia benar-benar pasrah, tetapi apabila
ia merenungi pula bahwa yang harus dikorbankan itu adalah Ismail, maka ia merasakan
kegundahan yang tidak tertanggungkan. Kegundahan ini merupakan tulang-tulangnya
dan membekas diwajahnya. Menyaksikan Ibrahim dalam keadaan sengsara itu syaitan
berusaha lagi untuk memperdayakannya. Syaitan adalah musuh manusia! Diman saja,
kapan saja dan siapa saja yang memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, kelemahan,
keraguan, kecemburuan, keputusan, kebodohan dan bahkan cinta, maka disitulah
syaitan tampil untuk melancarkan tipu dayanya yang jahat. Syaitan membuat kita
terlengah dari kewajiban sehingga kebenaran perintah Allah , tidak dapat kita
pahami, sesuai dengan firman-Nya:
وَاعْلَمُوْا اَنَّمَا اَمْوَالُكُمْ
وَاَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَاَنَّ اللهَ عِنْدَه اَجْرٌ عَظِيْمٌ *
Artinya :
“ Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan,
dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar” . (QS. 8:28).
Kecintaan pada
Ismail merupakan ujian bagi Ibrahim, kecintaan ini merupakan kelemahan
kelemahan dalam perjuangan melawan syaitan. Akhirnya Ibrahim pasrah kepada
Allah. Kemudian Ibrahim mulai membunuh perasaannya yang terpusat pada dirinya
sendiri dan pasrah kepada Allah dan membawa Ismail untuk disembelih. Sebelum
pisau menyentuh kulit Ismail, tiba-tiba Allah menggantinya dengan seekor domba
yang didatangkan dari surga.
Maha Besar
Allah telah memberikan sebuah pelajaran kepada kita, bahwa sejak saat itu tidak
ada lagi manusia yang harus dikorbankan sebagai persembahan kepada Allah, namun
yang di korbankan adalah domba-domba. Pelajaran penting lagi bahwa sesungguhnya
Allah tidak haus darah manusia, berbeda dengan tuhan-tuhan lain yang lapar,
masokhis, penganiaya manusia dan mengharapkan persembahan manusia. Allah yang
Maha besar tidak membutuhkan sesuatu apapun juga, Ia tidak seperti kita yang
memiliki segala macam kebutuhan.
Ini kisah
kenaikan manusia sehingga memiliki ruh dan cinta yang luhur, dan memiliki
kemauan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari setiap sesuatu yang
menghalanginya, untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai manusia yang sadar.
Dalam sejarah
nabi Adam as, ia memiliki anak bernama Kabil yang kafir, perampas kekuasaan ,
tamak, pembunuh dan durhaka kepada orang tuanya sebagai penerusnya setelah
berhasil membunuh Habil saudaranya. Sepanjang
sejarah manusia, maka bertambah besarnya masyarakat, mengubah sistem menjadi
lebih rumit dan timbul spesialisasi dan Kabil yang pemimpinpun mengubah
wajahnya.
Dalam masyarakat modern Kabil menyembumyikan wajahnya
yang asli di balik topeng 3 kekuatan (trinitas), yaitu topeng politik, topeng
ekonomi dan topeng agama. Ketiga
kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah tauhid Fir’aun lambang
penindasan, Karun lambang kapitalisme dan
Bal’am lambang kemunafikan. Ketiganya melambangkan wajah yang dimiliki syaitan.
Melempar jumrah sebanyak 7 kali melambangkan jumlah hari penciptaan alam
semesta, tujuh lapis langit, dan jumlah hari dalam sepekan. Perjuangan abadi
melawan syaitan, ini bermula pada awal penciptaan manusia dan berkelanjutan
hingga hari kiamat, sebuah pertempuran yang tidak mengenal peredaran senjatadan
tidak mengenal hubungan damai dengan setiap berhala. Setelah berhaji, kita
perlu bersikap selalu seolah-olah masih berada di Mina, dan harus memerangi
berhala- berhala
TATA CARA TAHALULL KLIK DISINI