Oleh : Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
sumber : http://almanhaj.or.id/content/1057/slash/0/hal-hal-yang-membatalkan-haji-hal-hal-yang-diharamkan-di-kedua-kota-haram-macam-dam-dalam-haji/
Haji batal karena salah satu dari dua perkara berikut:
1. Berhubungan intim
Jika dilakukan sebelum melempar jumrah ‘Aqabah, apabila dilakukan
setelah melempar jumrah ‘Aqabah dan sebelum thawaf Ifadhah hajinya tidak
batal walaupun demikian ia berdosa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hubungan intim tidak membatalkan haji karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini.
2. Meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun haji
Apabila haji seseorang batal karena salah satu dari dua perkara ini,
maka wajib baginya berhaji kembali tahun berikutnya apabila ia mampu,
sebagaimana yang telah kami jelaskan tentang makna mampu. Jika tidak,
maka pada waktu ia mampu untuk ber-haji, karena kewajiban haji bersifat
segera setelah ada kemampuan.
Hal-Hal yang Diharamkan Di Kedua Kota Haram (Makkah dan Madinah):•
Terdapat satu hadits dalam ash-Shahiihain dan kitab yang lainnya, dari
‘Ubbad bin Tamim dari pamannya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا ِلأَهْلِهَا، وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيْمُ مَكَّةَ.
“Sesungguhnya Ibrahim mengharamkan kota Makkah dan mendo’akan
penghuninya, serta aku mengharamkan kota Madinah sebagaimana Ibrahim
mengharamkan kota Makkah.”
Pengharaman dua kota suci ini adalah wahyu yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada kedua Nabi dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada keduanya. Jika disebut dua kota haram,
maka keduanya adalah Makkah dan Madinah. Tidak boleh memutlakkan kata
haram secara syar’i kecuali untuk kedua kota ini, tidak boleh
memutlakkan kata haram secara syar’i untuk Masjid Aqsha, tidak juga
untuk Masjid Ibrahim al-Khalil, karena wahyu tidak menamakan haram
kecuali Makkah dan Madinah. Ini adalah penetapan hukum, akal manusia
tidak mempunyai peran dalam hal ini.
Dalam dua kota haram ini diharamkan beberapa hal, apabila seseorang
hidup di dalam kedua kota ini ia tidak boleh mengerjakan hal yang
diharamkan tersebut atau orang yang datang berkunjung untuk menunaikan
ibadah haji atau umrah atau untuk kepentingan lainnya.
Hal-hal yang dilarang itu sebagai berikut:
1. Memburu hewan dan burung, mengejarnya atau membantu untuk mengerjakan hal tersebut
2. Memotong pepohonan dan durinya kecuali sangat dibutuhkan dan dalam keadaan darurat
3. Membawa senjata
4. Memungut barang temuan di tanah haram Makkah bagi orang yang
menunaikan ibadah haji. Adapun bagi orang yang bermukim di sana ia boleh
mengambilnya, lalu mengumumkannya. Perbedaan antara orang yang berhaji
dengan orang yang bermukim di sana jelas.
Aku berkata, “Adapun dalil dari hal-hal yang terlarang ini adalah sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari penaklukan kota
Makkah:
فَإِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضَ، وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيْهِ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَلَمْ
يَحِلَّ لِي إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللهِ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لاَ يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلاَ يُنَفَّرُ
صَيْدُهُ، وَلاَ يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلاَّ مَنْ عَرَّفَهَا، وَلاَ
يُخْتَلَى خَلاَهَا، قَالَ الْعَبَّاسُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلاَّ
اْلإِذْخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوْتِهِمْ. فَقَالَ: إِلاَّ
اْلإِذْخِرَ.
“Sesungguhnya kota ini adalah kota yang diharamkan Allah pada hari Dia
menciptakan langit dan bumi. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah
sampai hari Kiamat. Sesungguhnya tidak halal berperang dalam kota ini
untuk seorang pun sebelumku, kota ini tidak dihalalkan bagiku kecuali
sebentar, pada siang hari. Kota ini haram dengan keharaman dari Allah
sampai hari Kiamat. Duri pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh
dipotong, binatang buruan yang ada di dalamnya tidak boleh dikejar,
tidak boleh mengambil barang temuan kecuali untuk diumumkan dan tidak
boleh memotong pepohonan.” ‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali
tumbuhan idzkhir, sebab kami menggunakannya di kuburan dan di rumah
kami.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Kecuali tumbuhan izdkhir.” [1]
Dan dari Jabir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ ِلأَحَدِكُمْ أَنْ يَحْمِلَ بِمَكَّةَ السِّلاَحَ.
“Tidak halal bagi salah seorang di antara kalian membawa senjata di kota Makkah.” [2]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda (yaitu tentang kota Madinah):
لاَ يُخْتَلَى خَلاَهَا وَلا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلا يُلْتَقَطُ
لُقَطَتَهَا إِلاَّ لِمَنْ أَشَادَ بِهَا [أَنْشَادَهَا] وَلاَ يَصْلُحُ
لِرَجُلٍ أَنْ يَحْمِلَ فِيْهَا السِّلاَحَ لِقِتَالٍ وَلاَ يَصْلُحُ أَن
يُقْطَعَ مِنْهَا شَجَرَةٌ إِلاَّ أَنْ يَعْلِفَ رَجُلٌ بَعِيْرَهُ.
“Pepohonan yang tumbuh di dalamnya tidak boleh dipotong, binatang buruan
yang ada di dalamnya tidak boleh di kejar, barang temuan tidak boleh
diambil kecuali untuk diumumkan, tidak boleh bagi seseorang membawa
senjata untuk berperang di dalamnya dan tidak boleh memotong pepohonan
kecuali untuk memberi makan unta.” [3]
Syaikh Syaqrah berkata, “Barangsiapa yang mengerjakan salah satu dari
larangan ini, maka ia telah berdosa, ia harus bertaubat dan
beristighfar, kecuali hewan buruan bagi seseorang yang berihram, ia
harus menyembelih hewan kurban sebagai denda dan tambahan bagi taubat
serta istighfarnya.”
Denda Membunuh Hewan Buruan Di Kota Haram
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ
ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ
الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ
صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ
وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو
انتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa
seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang
telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekua-saan untuk)
menyiksa.” [Al-Maa-idah: 95]
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiirnya (II/98), “Ayat ini adalah
pengharaman dari Allah Subhanahu wa Ta'ala membunuh hewan buruan ketika
berihram dan larangan mengambilnya. Larangan ini menurut makna ayat
mencakup hewan yang dapat dimakan, walaupun dilahirkan di situ atau
dilahirkan dari tempat lain. Adapun hewan darat yang tidak bisa dimakan
menurut madzhab Syafi’i boleh dibunuh oleh orang yang sedang berihram,
sedangkan Jumhur ulama berpendapat tidak boleh dibunuh, tidak ada yang
dikecualikan dari hewan-hewan tersebut kecuali hewan yang disebutkan
pada hadits shahih dalam ash-Shahiihain dari jalan az-Zuhri dari ‘Urwah
dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ
وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ.
"Ada lima binatang jahat yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun
tanah haram : burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing
galak.’”[4]
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Menurut pendapat jumhur orang yang sengaja
atau tidak sengaja membunuh (hewan yang dilarang) sama-sama berkewajiban
membayar denda.
Berkata az-Zuhri, ayat al-Qur-an menunjukkan kewajiban membayar denda
bagi orang yang sengaja membunuh dan Sunnah mewajibkan denda bagi orang
yang tidak sengaja. Makna perkataan ini, bahwa ayat al-Qur-an
menunjukkan kewajiban membayar den-da bagi orang yang membunuh dengan
sengaja dan orang tersebut berdosa, berdasarkan firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ
“... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]
Dalam Sunnah ada hukum dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari
Sahabat beliau akan wajibnya denda bagi orang yang salah membunuh (tidak
sengaja), sebagaimana halnya al-Qur-an menunjukkan kewajiban denda bagi
orang yang sengaja membunuh. Tinjauan lain, orang yang membunuh buruan
di tanah haram telah merusak, orang yang merusak harus mengganti, baik
ia sengaja maupun tidak sengaja, namun orang yang sengaja, maka ia
berdosa dan orang yang salah membunuh (tidak sengaja) tidak tercela.’”
Ia (Ibnu Katsir) berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ
"... Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksa-nya...” [Al-Maa-idah: 95]
Merupakan dalil bagi pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Jumhur
ulama akan wajibnya denda dengan hewan semisal bagi orang yang berihram.
Hal ini wajib apabila ia memiliki hewan peliharaan. Apabila tidak ada
yang semisal dengan hewan buruan itu. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma
telah menghukumi dengan mengganti harga hewan buruan tersebut kemudian
dibawa ke Makkah. Diriwayat-kan oleh al-Baihaqi.”[5]
Beberapa Contoh Hukum Yang Diputuskan Oleh Nabi Dan Para Sahabat Beliau Dalam Penentuan Hewan Semisal
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dhab’u (hewan sejenis
anjing hutan).” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
هُوَ صَيْدٌ وَيُحْمَلُ فِيْهِ كَبْشٌ إِذَا صَادَهُ الْمُحْرِمُ.
“Ia termasuk hewan buruan, jika seorang yang berihram memburunya, dendanya adalah seekor kambing.” [6]
Dari Jabir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab telah memutuskan seekor kambing
sebagai denda untuk dhab’u, kambing betina untuk kijang, anak kambing
betina untuk kelinci, anak kambing yang berumur empat bulan untuk yarbu’
(hewan sejenis tikus).”[7]
Dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwa ia memutuskan denda bagi seseorang yang sedang
berihram jika membunuh burung merpati di tanah haram adalah, seekor
kambing bagi seekor burung.” [8]
Ibnu Katsir berkata (II/100), “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ
“Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah.” [Al-Maa-idah: 95]
Maknanya adalah sampai ke Ka’bah. Maksudnya, hewan kurban itu sampai ke
tanah haram dan disembelih di sana, lalu dagingnya dibagi untuk
orang-orang miskin di tanah haram. Ini adalah cara yang disepakati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا
“...Atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang
miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu...”
[Al-Maa-idah: 95]
Maksudnya jika seorang yang berihram tidak memiliki hewan ternak yang
semisal dengan hewan yang ia bunuh atau hewan buruan itu tidak termasuk
hewan yang dapat dimisalkan dengan hewan lain atau kita katakan dia
bebas memilih dalam permasa-lahan ini antara membayar denda atau memberi
makan orang miskin atau berpuasa, karena jelasnya kata “yaitu” dalam
ayat tersebut. Gambarannya, ia menyamakan harga hewan buruan yang
terbu-nuh atau yang semisalnya, kemudian ia membeli makanan untuk
disedekahkan, satu orang miskin diberi satu mudd. Apabila ia tidak
menjumpai (makanan) atau kita katakan ia boleh memilih, ia boleh
berpuasa dengan menghitung satu hari untuk satu orang miskin.”
Selesai dengan sedikit perubahan.
Denda Bagi Orang Yang Berhubungan Intim Pada Saat Menunaikan Ibadah Haji.
Barangsiapa yang berhubungan intim sebelum tahallul pertama, maka
hajinya batal dan wajib baginya membayar denda satu ekor unta atau sapi.
Apabila ia berhubungan intim setelah tahallul pertama sebelum tahallul
kedua, wajib baginya membayar denda satu ekor kambing dan hajinya tidak
batal.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma: “Beliau pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan isterinya sedangkan ia
berihram, ia sedang berada di Mina dan belum melakukan thawaf Ifadhah,
maka beliau memerintahkannya agar menyem-belih satu ekor unta atau
sapi.” [9]
Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari ayahnya bahwa seorang
laki-laki mendatangi ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma menanyakan
tentang seorang yang berhubungan intim dengan seorang wanita sedangkan
dia berihram. Kemudian beliau menunjuk kepada ‘Abdullah bin ‘Umar dan
berkata, “Pergilah ke orang itu dan bertanyalah kepadanya.” Laki-laki
itu tidak mengenalnya (‘Abdullah bin ‘Umar), maka aku pun pergi
dengannya. Laki-laki itu pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Umar
menjawab, “Hajimu batal.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Sekarang apa
yang harus aku lakukan?” “Pergilah bersama orang-orang dan kerjakan apa
yang mereka kerjakan, apabila engkau menjumpai tahun depan, berhajilah
dan berkurbanlah.” Laki-laki itu kembali lagi ke ‘Abdullah bin ‘Amr,
menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Umar dan aku masih bersamanya.
‘Abdullah bin ‘Amr berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke Ibnu ‘Abbas dan
tanyakan kepadanya.” Syu’aib berkata, “Aku pun pergi bersamanya ke Ibnu
‘Abbas lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Abbas menjawab
sebagaimana jawaban Ibnu ‘Umar. Laki-laki itu kembali lagi kepada
‘Abdullah bin ‘Amr, menceritakan apa yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan aku
masih tetap bersamanya. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada ‘Abdullah
bin ‘Amr, ‘Apa pendapatmu?’ ‘Pendapatku seperti apa yang mereka
katakan,’ jawab ‘Abdullah bin ‘Amr.” [10]
Dari Sa’id bin Jubair, ada seorang laki-laki berihram bersama isterinya
untuk umrah, sang isteri telah menyelesaikan manasiknya kecuali
memendekkan rambut. Sang suami mencampurinya sebelum ia memendekkan
rambut. Kemudian sang suami bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang hal itu,
Ibnu ‘Abbas berkata, “Besar sekali nafsu wanita itu.” Lalu dikatakan
kepadanya, “Wanita itu mendengar.” Keduanya menjadi malu karena hal
tersebut dan berkata, “Apakah engkau tidak mau memberitahu aku.” Ibnu
‘Abbas berkata kepadanya, “Berkurbanlah.” Laki-laki itu bertanya lagi,
“Apa?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Kurbankan unta atau sapi atau kambing.”
Sang isteri bertanya, “Mana yang lebih baik?” “Unta,” jawab Ibnu
‘Abbas.[11]
Barangsiapa yang tidak mempunyai unta atau kambing hendaknya ia berpuasa
tiga hari di waktu haji dan tujuh hari sekembalinya dari haji.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
“...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam
bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali...” [Al-Baqarah: 196]
Lebih afdhal baginya berpuasa sebelum hari ‘Arafah, jika tidak ia boleh
berpuasa pada hari-hari Tasyrik, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan
‘Aisyah, “Tidak ada keringanan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali
bagi orang yang tidak mem-punyai sembelihan.” [12]
Peringatan:
Wanita dalam masalah ini sama dengan laki-laki, sama persis, kecuali
jika ia dipaksa untuk berhubungan intim, maka ia tidak perlu berkurban
dan hajinya sah berbeda dengan haji suami yang menggaulinya.[13]
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu
‘Abbas bertanya, ‘Aku telah menggauli isteriku sebelum aku
menyempurnakan hajiku.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Apabila isterimu
membantumu melakukan hal ini, maka setiap kalian harus menyembelih unta
yang baik lagi gemuk. Apabila ia tidak membantumu, maka wajib bagimu
menyembelih unta yang baik lagi gemuk.’” [14]
Macam-Macam Dam Dalam Haji:•
1. Dam haji Tamattu’ dan Qiran
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau
bertalbiyah meniatkan umrah dan haji tamattu’ atau bertalbiyah meniatkan
umrah dan haji qiran, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
مَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ ۚ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
"...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam
bulan Haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kem-bali...” [Al-Baqarah: 196]
2. Dam fidyah
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang menunaikan ibadah haji
apabila ia mencukur rambutnya karena sakit atau sesuatu yg mengganggu,
berdasarkan firman Allah Subahnahu wa Ta'ala :
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
“… Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu
ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau
bersedekah atau berkurban…” [Al-Baqarah: 196]
3. Dam tebusan
Yaitu dam yang diwajibkan bagi seseorang yang berihram apabila membunuh
hewan buruan darat, adapun membunuh hewan buruan laut tidak mengapa
(mengenai dam ini, telah dibahas).
4. Dam Ihshar
Yaitu dam yang dibayar karena ia tidak bisa menyempurnakan manasiknya
karena sakit atau ditahan musuh atau yang lainnya dan ia tidak
mensyaratkan apa-apa pada saat ia berihram, ber-dasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“... Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat...” [Al-Baqarah: 196]
5. Dam karena berhubungan intim
Yaitu dam yang diwajibkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji apabila
ia berhubungan intim di tengah hajinya (hal ini telah dibahas).
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari, karya Syaikh Muhammad Syaqrah.
[1]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/46, no. 1834), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan an-Nasa-i (V/203).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7645)], Shahiih Muslim (II/989, no. 1356).
[3].Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1790)], Sunan Abi Dawud (VI/20, no. 2018).
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/34, no. 1829), Shahiih
Muslim (II/856, no. 1198), Sunan at-Tirmidzi (II/166, no. 839).
[5]. Tafsiir al-Qur-aanil ‘Azhiim (II/99), dari ‘Ikrimah, ia berkata,
“Marwan pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sedangkan kami pada saat itu
berada di lembah Azraq, ‘Apa pendapatmu jika kami membunuh hewan buruan
di tanah haram dan tidak ada hewan ternak yang dapat menggantikan he-wan
itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Engkau perkirakan harganya dan
bersedekahlah sebesar harga hewan itu kepada orang-orang miskin di
Makkah.’”
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3226)], Sunan Abi Dawud (X/274, no. 3783).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1051)], Muwaththa’ Imam Malik (285/941), al-Baihaqi (V/183).
[8]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1056)], al-Baihaqi (V/205).
[9]. Shahih mauquf: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/171).
[10]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/234], al-Baihaqi (V/167).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (IV/233)], al-Baihaqi (V/172).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1042)], Shahiih al-Bukhari (IV/242, no.1997).
[13]. Irsyaadus Saari.
[14]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1044)], al-Baihaqi (V/168
• Diambil dari kitab Irsyaadus Saari dengan penambahan ayat